
minyak jelantah untuk menjadi sumber energi hijau di masa depan.
Minyak jelantah yang dianggap sebagai limbah, bisa menjadi komoditas yang bernilai tinggi setelah melalui proses pengelolaan yang baik.
Minyak jelantah bahkan digunakan sebagai bahan baku Sustainable Aviation Fuel (SAF), yang membuka peluang ekonomi, baik untuk tingkat lokal maupun dunia internasional.
Arif Rahman, peneliti dari Postdoctoral di Pusat Riset Sistem Produksi Berkelanjutan dan Penilaian Daur Hidup (PRSPBPDH) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengatakan bahwa keberlanjutan produksi SAF ini dapat mendorong ekonomi sirkular terkait penggunaan energi terbarukan.
“Keberlanjutan produksi SAF ini penting untuk dilakukan, sebab dapat mengurangi emisi gas rumah kaca juga menurunkan ketergantungan pada bahan bakar fosil,” ujar Arif Rahman, dalam keterangan resmi, Rabu (23/04/2025).
Menurutnya, hasil kajian dari Life Cycle Assessment (LCA) menjadi dasar ilmiah untuk mengambil keputusan dalam produksi SAF yang efektif menuju masa depan yang lebih ramah lingkungan.
Arif juga mengatakan industri penerbangan global sendiri telah menetapkan target netral karbon pada tahun 2050, yakni sebesar 21,2 gigaton.
“Salah satu strategi yang ditempuh untuk mencapai target tersebut adalah beralih dari bahan bakar fosil, yaitu aftur, ke bahan bakar yang lebih ramah lingkungan dan terbarukan yang dikembangkan melalui Sustainable Aviation Fuel (SAF).” ujar nya.
Adapun, Philippe Micone dari PT Noovoleum Indonesia Investama membeberkan studi kasus tentang kotak penampung minyak jelantah bermerek Pertamina yang dimulai pada 21 Desember tahun lalu.
“Masyarakat bersedia menyetorkan minyak jelantah mereka kepada kotak-kotak penyetoran yang diletakkan di lokasi strategis. Saat ini proses tersebut berhasil diterapkan di 9 lokasi.” ujar Philippe dalam keterangan resmi dari BRIN.
Philippe mengatakan bahwa jika prosesnya terus berjalan lancar, penampungan minyak jelantah ini ditargetkan bisa tersebar di 300 lokasi pada akhir tahun 2025.
Saat ini rata-rata, setiap kotak mampu mengumpulkan lebih dari satu ton minyak goreng bekas per bulan, yang sebagian besar berasal dari produsen kecil.
Untuk proses selanjutnya, Philippe mengatakan pihaknya akan mendaur ulang minyak tersebut dan menghitung jumlah emisi CO2 yang berhasil dikurangi dari kegiatan ini.
Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar dunia, sehingga memiliki potensi UCO turunan sawit yang besar.
Populasi dan budaya kuliner Indonesia, dengan populasi 276 juta dan tradisi makan gorengan yang kuat, pasti menghasilkan UCO dalam volume tinggi dari rumah tangga, restoran dan industri makanan.