
tenaga surya berkembang pesat terutama di daerah tropis, seiring negara-negara di area tersebut berupaya mencapai target netralitas karbon.
Namun, penelitian baru menunjukkan bahwa meskipun penggunaan tenaga surya meningkat, ada kalanya terjadi kekurangan pasokan atau disebut dengan istilah kekeringan tenaga surya ketika permintaan lebih besar dari produksi selama minimal tiga hari.
Kekurangan tenaga surya dapat berdampak besar pada kehidupan sehari-hari jutaan orang, terutama dalam hal akses ke pendinginan yang krusial di daerah tropis dan kemampuan untuk memasak.
Dikutip dari Phys, Sabtu (19/4/2025) dalam studi ini, peneliti dari Chinese Academy of Meteorological Sciences, Beijing, China Yadong Lei bersama rekan-rekannya menganalisis pasokan dan permintaan tenaga surya global dari tahun 1984 hingga 2014.
Mereka mencari periode di mana permintaan tenaga surya melebihi pasokan selama minimal tiga hari berturut-turut.
Penelitian kemudian menemukan bahwa beberapa wilayah secara signifikan lebih sering mengalami kekurangan. Wilayah tersebut antara lain wilayah barat Amerika Serikat, Brasil bagian timur, Asia Tenggara serta sebagian besar Afrika.
Setiap wilayah ini mengalami rata-rata setidaknya lima kali “kekeringan tenaga surya” setiap tahun selama periode penelitian.
Penelitian juga menemukan bahwa frekuensi “kekeringan tenaga surya” cenderung meningkat dari waktu ke waktu, dengan rata-rata peningkatan 0,76 kekurangan tambahan per dekade. Ini mengindikasikan bahwa masalah kekurangan pasokan tenaga surya berpotensi menjadi lebih buruk di masa depan.
Peningkatan rata-rata 0,76 kekurangan per dekade itu pun bertanggung jawab atas hampir sepertiga (29 persen) dari seluruh kejadian kekurangan tenaga surya yang disebabkan oleh faktor cuaca selama periode penelitian.
Kekurangan pasokan tenaga surya tidak hanya disebabkan oleh satu hal, namun menurut mereka dipengaruhi oleh beberapa hal.
Cuaca panas ekstrem meningkatkan kebutuhan masyarakat akan pendinginan (seperti penggunaan AC), yang secara otomatis meningkatkan permintaan listrik.
Kemudian yang kedua, kondisi cuaca mendung, hujan lebat, atau tingginya tingkat polusi udara (seperti kabut asap tebal) dapat menghalangi sinar matahari mencapai panel surya, sehingga mengurangi atau menekan produksi listrik tenaga surya.
Inilah ironi dan tantangan utama. Ketika masyarakat paling membutuhkan listrik untuk menjaga kenyamanan dan keamanan mereka dari panas, justru saat itulah pasokan tenaga surya cenderung menurun.
Para peneliti juga menggunakan model untuk memperkirakan bagaimana frekuensi dan tingkat keparahan (seberapa besar dampak) kekurangan tenaga surya dapat berubah di masa depan, tergantung pada seberapa banyak emisi gas rumah kaca yang dihasilkan secara global.
Berdasarkan skenario moderat, para peneliti memprediksi peningkatan yang signifikan pada “kekeringan tenaga surya” pada akhir abad ini di mana frekuensi kekurangan pasokan tenaga surya diperkirakan akan terjadi tujuh kali lebih sering dibandingkan dengan periode 1984-2014.
Sementara dampak dari setiap kekurangan juga diperkirakan akan menjadi 30 persen lebih besar.
Dalam skenario di mana emisi gas rumah kaca berhasil dikurangi secara signifikan, trennya berbeda.
“Kekeringan tenaga surya” diperkirakan akan mencapai puncaknya sekitar tahun 2060-an dan kemudian mulai menurun. Emisi yang lebih rendah akan mengurangi intensitas dan frekuensi gelombang panas, yang merupakan salah satu pendorong utama kekurangan tenaga surya.
Temuan penelitian ini telah dipublikasikan di jurnal Geophysical Research Letters.